Jumat, 13 Desember 2013

Keraton Solo



Kota Solo (Surakarta) merupakan sebuah kota tua yang berumur lebih dari 260 tahun yang sarat dengan peristiwa sejarah bagi bangsa Indonesia. Sebut saja peristiwa lahirnya Serikat Islam pada 1911, di mana saat itu reaksi wong Solo bergolak atas campur tangan ekonomi kolonial. Kemudian, peristiwa pemberontakan faham komunis yang dipimpin Haji Mizbah yang bisa menguasai kereta api pada 1924.

Dalam konteks Kota Solo, kelahiran kota ini sendiri merupakan peristiwa sejarah yang ditandai perpindahan keraton dari Kartasura ke Desa Sala. Pemilihan lokasi dibangunnya Keraton Surakarta sendiri bermakna bagi eksistensi kerajaan. Konsep ‘kutaraja’ yang dikelilingi benteng Baluwarti dihadirkan di lokasi yang awalnya pusat perdagangan Bengawan Solo, mengingat di sana ada pertemuan sejumlah sungai yang waktu itu merupakan sarana transportasi perdagangan.

Awalnya, lokasi dibangunnya keraton berupa kedung, dan merupakan pertemuan sejumlah sungai. Ada Sungai Batangan yang bertemu dengan Sungai Tempuran. Lalu, Sungai Laweyan atau Banaran yang bertemu dengan Sungai Batangan. Sementara dari arah selatan ada Sungai Wingko dan dari utara ada Sungai Pepe.

Beberapa kitab Jawa, baik dalam Babad Giyanti (1916, I), Babad Kartasura Pacinan (1940), maupun Babad Tanah Jawi (1941), kisah perpindahan Keraton dari Kartasura ke Surakarta hampir seragam. Ketika Sunan Paku Buwono II (1726–1749) kembali dari Ponorogo, (1742), ia menyaksikan kehancuran bangunan istana. Rusaknya bangunan istana itu disebabkan ulah dari para pemberontak Cina. Bagi Sunan, keadaan tersebut mendorong niatnya untuk membangun sebuah istana yang baru.

Kemudian, ia mengusulkan kepada para punggawa kerajaan untuk membangun sebuah istana baru. Patih R Ad Pringgalaya dan beberapa bangsawan diajak berembug tentang rencana itu. Paku Buwono II berkeinginan membangun istana baru di tempat yang baru. Ia menghendaki, istana yang baru itu berada di sebelah timur istana lama, dekat dengan sungai Bengawan Sala. Hal ini dilakukan di samping untuk menjauhi pengaruh para pemberontak yang mungkin masih bersembunyi di kartasura, juga untuk menghapus kenangan buruk kehancuran istana Kartasura.

Akhirnya, Sunan mengutus utusan yang terdiri dari ahli negara, pujangga dan ahli kebatinan untuk mencari tempat yang cocok bagi pembangunan istana baru. Utusan itu terdiri dari Mayor Hohendorp, Adipati Pringgalaya, dan Adipati Sindurejo (masing-masing sebagai Patih Jawi ’Patih Luar’ dan Patih Lebet ‘Patih Dalam’), serta beberapa orang bupati.

Utusan itu diikuti juga oleh abdi dalem ahli nujum, Kyai T Hanggawangsa, RT Mangkuyuda, dan RT Puspanegara. Singkat cerita, mereka mendapatkan tiga tempat yang dianggap cocok untuk dibangun istana, yaitu Desa Kadipala, Desa Sala, dan Desa Sana Sewu.

Setelah diadakan musyawarah, para utusan akhirnya memilih Desa Sala sebagai calon tunggal untuk tempat pembangunan istana baru, dan keputusan ini kemudian disampaikan kepada Sunan di Kartasura. Setelah Sunan menerima laporan dari para utusan tersebut, kemudian memerintahkan beberapa orang abdi dalem untuk meninjau dan memastikan tempat itu. Utusan itu adalah Panembahan Wijil, Abdi Dalem Suranata, Kyai Ageng Khalifah Buyut, Mas Pangulu Fakih Ibrahim, dan Pujangga istana RT Tirtawiguna (Tus Pajang, 1940:19-21).

Sesampainya di desa Sala, utusan tersebut menemukan suatu tempat yang tanahnya berbau harum, maka disebut Desa Talangwangi (tala=tanah; wangi=harum), terletak di sebelah barat laut desa Sala (sekarang menjadi kampung Gremet). Setelah tempat tersebut diukur untuk calon lokasi istana, ternyata kurang luas, maka selanjutnya para utusan melakukan “samadhi” (bertapa) untuk memperoleh ilham (“wisik”) tentang cocok atau tidaknya tempat tersebut dijadikan pusat istana. Mereka kemudian bertapa di Kedhung Kol (termasuk kampung Yasadipuran sekarang).

Setelah beberapa hari bertapa, mereka memperoleh ilham bahwa desa Sala sudah ditakdirkan oleh Tuhan menjadi pusat kerajaan baru yang besar dan bertahan lama (Praja agung kang langgeng). Ilham tersebut selanjutnya memberitahukan agar para utusan menemukan Kyai Gede Sala (sesepuh desa Sala). Orang itulah yang mengetahui ‘sejarah’ dan cikal bakal desa Sala.

Perlu diketahui, bahwa nama Kyai Gede Sala berbeda dengan Bekel Ki Gede Sala, seorang bekel yang mengepalai desa Sala pada jaman Pajang. Sedang Kyai Gede Sala adalah orang yang mengepalai desa Sala pada jaman kerajaan Mataram Kartasura (Pawarti Surakarta, 1939:6-7).

Selanjutnya Kyai Gede Sala menceritakan tentang desa Sala sebagai berikut. Ketika jaman Pajang, salah seorang putera Tumenggung Mayang, Abdi Dalem kerajaan Pajang, bernama Raden Pabelan, dibunuh di dalam istana, sebab ketahuan bermain asmara dengan puteri Sekar Kedaton atau Ratu Hemas, puteri Sultan Hadiwijaya, raja Pajang (Atmodarminto, 1955:83; Almanak Cahya Mataram, 1921:53; Dirjosubrata, 1928:75-76).

Selanjutnya mayat raden Pabelan dihanyutkan (dilarung) di sungai Lawiyan (sungai Braja), hanyut dan akhirnya terdampar di pinggir sungai dekat Desa Sala. Bekel Kyai Sala yang saat itu sebagai penguasa Desa Sala, pagi hari ketika ia pergi ke sungai melihat mayat. Kemudian mayat itu didorong ke tengah sungai agar hanyut. Memang benar, mayat itu hanyut dibawa arus air sungai Braja.

Pagi berikutnya, kyai Gede Sala sangat heran karena kembali menemukan mayat tersebut sudah di tempatnya semula. Sekali lagi mayat itu dihanyutkan ke sungai. Namun anehnya, pagi berikutnya peristiwa sebelumnya berulang lagi. Mayat itu kembali ke tempat semula, sehingga Kyai Gede Sala menjadi sangat heran.

Akhirnya ia maneges, minta petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa atas peristiwa itu. Setelah tiga hari tiga malam bertapa, Kyai Gede Sala mendapat ilham atau petunjuk. Ketika sedang bertapa, seakan-akan ia bermimpi bertemu dengan seorang pemuda gagah. Pemuda itu mengatakan, bahwa dialah yang menjadi mayat itu dan mohon dengan hormat kepada Kyai Gede Sala agar dia dikuburkan di situ.

Namun sayang, sebelum sempat menanyakan tempat asal dan namanya, pemuda itu telah raib/menghilang. Akhirnya Kyai Gede Sala menuruti permintaan pemuda tersebut, dan mayatnya dimakamkan di dekat desa Sala. Karena namanya tidak diketahui, maka mayat itu desebut Kyai Bathang (bathang=mayat). Sedangkan tempat makamnya disebut Bathangan (makam itu sekarang berada di kawasan Beteng Plaza, Kelurahan Kedung Lumbu). Dengan adanya Kyai Bathang itu, desa Sala semakin raharja (Sala=raharja), kehidupan rakyatnya serba kecukupan dan tenang tenteram (Roorda, 1901:861).

Demikian cerita singkat Kyai Gede Sala. Kuburan itu terletak di tepi rawa yang dalam dan lebar. Keadaan ini kemudian oleh para utusan dilapokan kepada Sunan di Kartasura.

Sesudah Sunan Paku Buwana II menerima laporan, maka segera memerintahkan kepada Kyai Tohjaya dan Kyai Yasadipura (I), serta RT. Padmagara, untuk mengupayakan agar desa Sala dapat dibangun istana baru. Ketiga utusan tersebut kemudian pergi ke desa Sala. Sesampainya di desa Sala, mereka berjalan mengelilingi rawa-rawa yang ada di sekeliling desa Sala.

Akhirnya, mereka dapat menemukan sumber Tirta Amerta Kamandanu (air kehidupan, sumber mata air). Hal itu dilaporkan kepada Sunan, dan kemudian Sunan memutuskan bahwa desa Sala-lah yang akan dijadikan pusat istana baru. Sunan segera memerintahkan agar pembangunan istana segera dimulai.

Atas perintah Sunan, seluruh Abdi Dalem dan Sentana dalem membagi tugas: Abdi Dalem mancanegara Wetan dan Kilen dimintai balok-balok kayu, jumlahnya tergantung pada luas wilayahnya. Balok-balok kayu tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam rawa di desa Sala sampai penuh. Meskipun demikian belum dapat menyumbat mata air rawa tersebut, bahkan airnya semakin deras.

Sanadyan kelebetana sela utawi balok ingkang ageng-ageng ngantos pinten-pinten ewu, meksa mboten saget pampet, malah toya saya ageng ambalaber pindha samodra. (Tus Pajang, 1940:24-25).

(Walaupun diberi batu ataupun balok-balok kayu yang besar-besar sampai beribu-ribu banyaknya, terpaksa tidak dapat tertutup, bahkan keluarnya air semakin besar dan menyeruap bagaikan samudra).

Bahkan lebih mengherankan lagi, dari sumber air tersebut keluar berbagai jenis ikan yang biasa hidup di air laut (teri pethek, dsb). Menyaksikan kejadian itu, Panembahan Wijil dan Kyai Yasadipura bertapa selama tujuh hari tujuh malam tanpa makan dan tidur. Akhirnya pada malam hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) Kyai Yasadipura mendapatkan ilham sebagai berikut:

He kang padha mangun pujabrata, wruhanira, telenging rawa iki ora bisa pampet amarga dadi tembusaning samodra kidul. Ewadene yen sira ngudi pampete, kang dadi saranane, tambaken Gong Kyai Sekar Dlima godhong lumbu, lawan sirah tledhek, cendhol mata uwong, ing kono bisa pampet ponang teleng. Ananging ing tembe kedhung nora mili nora pampet, langgeng toyanya tan kena pinampet ing salawas-lawase (Pawarti Surakarta, 1939:7).

(Hai, kalian yang bertapa, ketahuilah, bahwa pusat rawa ini tidak dapat ditutup, sebab menjadi tembusannya Lautan Selatan. Namun demikian bila kalian ingin menyumbatnya gunakan cara: gunakan Gong Kyai Sekar Delima, daun lumbu (talas), dan kepala ronggeng, cendol mata orang, disitulah pasti berhenti keluarnya mata air. Akan tetapi besok kenghung itu tidak akan mengalir, tetapi juga tidak berhenti mengeluarkan air, kekal tidak dapat disumbat selama-lamanya).

Penerimaan ilham tersebut terjadi pada hari Anggara Kasih (Selasa Kliwon) tanggal 28 Sapar, Jimawal 1669 (1743 Masehi) (Yasadipura II, 1916: 17-18). Segala kejadian tersebut kemudian dilaporkan kepada Sunan di Kartasura. Sunan sangat kagum mendengar laporan tersebut dan setelah berpikir keras akhirnya Sunan bersabda:

Tledhek iku tegese ringgit saleksa. Dene Gong Sekar Dlima tegese gangsa, lambe iku tegese uni. Dadi watake bebasan kerasan. Gong Sekar Delima, dadi sekaring lathi, ingkang anggambaraken mula bukane nguni iku Kyai Gede Sala. Saka panimbang iku udanegarane kabener anampi sesirah tledhek arta kehe saleksa ringgit (cendhol mata uwonng), mangka liruning kang dadi wulu wetuning desa tekan ing sarawa-rawa pisan (Pawarti Surakarta, 1939:8).

“Tledhek” berarti sepuluh ribu ringgit. Gong Sekar Delima berarti “gangsa”, bibir atau ujar (perkataan). Jadi bersifat perumpamaan. Gong Sekar Delima menjadi buah bibir yang menggambarkan asal mula/cikal bakal (desa) yaitu Kyai Gede Sala. Atas pertimbangan itu sepantasnya menerima ganti uang sebanyak sepuluh ribu ringgit. Sebagai ganti rugi penghasilan desa beserta rawa-rawanya.

Demikian akhirnya Kyai Gede Sala memperoleh ganti rugi sebesar sepuluh ribu ringgit (saleksa ringgit) dari Sunan. Selanjutnya Kyai Gede Sala bertapa di makam Kyai Bathang. Di dalam bertapa itu Kyai Gede Sala memperoleh “Sekar Delima Seta” (putih) dan daun lumbu (sejenis daun talas). Kedua barang tersebut dimasukkan ke dalam sumber mata air (Tirta Amerta Kamandanu). Sesudah itu dilakukan kerja bhakti (gugur gunung) menutup rawa.

Akhirnya pekerjaan itu selesai dengan cepat. Penghuninya dipindahkan dan dimukimkan kembali di tempat lain (“wong cilik ing desa Sala kinen ngalih marang ing desa Iyan sami”). Kemudian pembangunan dimulai dengan menguruk tanah yang tidak rata dan dibuat gambar awal dengan mengukur panjang dan lebarnya (“ingkur amba dawane”).

Puluhan ribu (leksan) buruh bekerja di proyek pembangunan itu. Dinding-dinding pertama dibangun dari bambu karena waktunya mendesak. Adapun desain umumnya mencontoh model Karaton Kartasura (“anelad Kartasura”) (Lombard, III: 109).

Mengapa pilihan jatuh di Desa Sala, ada beberapa alasan yang dapat diajukan, baik dilihat secara wadhag atau fisik-geografis maupun alasan magis-religius. Desa Sala letaknya dekat dengan Bengawan Sala, yang sejak lama mempunyai arti penting dalam hubungan sosial, ekonomi, politik, dan militer antara Jawa Tengah dan Jawa Timur.
 Sebuah sumber menyebutkan, Bengawan Sala atau Bengawan Semanggi mempunyai 44 bandar (Fery Charter abad ke-14), salah satunya bernama Wulayu atau Wuluyu atau sama dengan desa Semanggi (bandar ke-44). Dalam Serat Wicara Keras disebutkan, Bengawan Sala sebagai Bengawannya orang Semanggi (bandingkan dengan Babad Tanah Jawi).

Alasan lainnya, di desa Sala cukup tenaga kerja untuk membuat Karaton karena dikelilingi oleh desa Semanggi, Baturana, dan Babudan (dua desa yang terakhir merupakan tempat Abdi Dalem pembuat babud permadani pada jaman Kartasura). Desa Sala sendiri zaman Padjang dibawah bekel Kyai Sala.

Alasan politis juga dapat dimasukkan, terutama dalam menjaga kepentingan VOC. Untuk mengawasi Mataram maka VOC membangun benteng di pusat kota Mataram yang mudah dijangkau dari Semarang sebagai pintu gerbang ke pedalaman.

Sementara itu terdapat sejumlah alasan magis-religius seperti berikut ini. Pertama, desa Sala terletak di dekat tempuran, yaitu bertemunya Sungai Pepe dan Bengawan Sala. Tempuran merupakan tempat magis dan sakral. Di samping itu, kata Sala atau Qala dihubungkan dengan bangunan suci. Kata itu berarti ruangan atau bangsal besar dan telah disebut-sebut dalam OJO no. XLIII (920) dengan istilah Kahyunan.

Di Qala tedapat sekolah Prahunan (sekarang kampung praon) di dekat muara Sungai Pepe, yang artinya bangunan suci di Hemad (I Hemad atau Ing Hemad, Ing Gemad = Gremet). “Ning peken ri hemad”, artinya di pasar ngGremet, tempat dilakukan upacara penyumpahan mendirikan tempat swatantra perdikan di Sala.

Pembangunan Karaton segera dimulai setelah rawa-rawa berhasil dikeringkan dan tempatnya dibersihkan. Untuk mengurug Karaton, tanahnya diambil dari desa Talawangi. (Dalam sebuah sumber lain disebutkan, “hawit iku pada kalebu hing jangka, sak mangsa-mangsa ndandani Kadaton bakal njupuk hurug lemah Kadipala (Tetedakan sangking Buk Ha: Ga, Sana Pustaka).

Jadi tanah Talawangi dan tanah Sala kedua-duanya dipakai untuk pembangunan Karaton. Karaton telah berdiri meskipun belum dipagari batu dan baru dari bambu (jaro bethek). Sirnaning Resi Rasa Tunggal (1670) menandai saat pengerjaan Karaton selesai, meskipun nampak tergesa-gesa. (heriyono)

Berebut Tahta Kerajaan

Pasca Sunan Pakubuwono XII ‘mangkat’ beberapa waktu lalu (11 Juni 2004), terjadi perebutan kekuasaan ‘siapa yang berhak menjadi raja’. Peristiwa perebutan gelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom Amangkunegoro Sudibyo Raja Putra Narendra Mataram VIII atau disingkat Paku Buwono XIII, membuat kalangan kerajaan terpecah menjadi dua bagian, yakni antara pendukung Kanjeng Gusti Pangeran Haryo (KGPH) Hangabehi dan KGPH Tedjowulan.

Keduanya merasa mempunyai hak untuk menduduki tahta kerajaan. Peristiwa ini secara tidak langsung mengingatkan masyarakat Indonesia dengan ‘sejarah kelam’ yang terjadi pada 1755 lampau. Saat itu, terjadi peristiwa Perjanjian Giyanti yang memecah Dinasti Kerajaan Mataram menjadi dua bagian, yaitu Kasunanan Surakarta Hadiningrat dan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat.

Dahulu, perpecahan (perebutan kekuasaan) selalu dikaitkan dengan politik memecah belah atau devide et impera penjajah Belanda yang ingin menancapkan kekuasaan di Tanah Jawa. Namun, saat ini sulit dipungkiri, perpecahan didorong nafsu berkuasa para elit Kasunanan Surakarta.

Menurut beberapa kalangan, rebutan tahta ini sebenarnya tak akan terjadi kalau saja Paku Buwono XII mengangkat permaisuri. Sehingga, secara langsung putra mahkota adalah anak sulung dari permaisuri. Namun, semasa hidupnya, Paku Buwono XII hanya memiliki garwa ampil atau selir dengan 37 anak.

Sejarawan Sumanto dalam suatu kesempatan mengatakan, alasan Paku Buwono XII tidak berpermaisuri bisa jadi karena Kasunanan Surakarta lebih berfungsi sebagai wilayah kebudayaan. Di luar kompleks keraton, kekuasaan raja tidaklah dominan.

KGPH Hangabehi adalah putra tertua Paku Buwono XII dari selir ketiga Gusti Raden Ayu (GRAy) Pradapaningrum. Karena itulah, Hangabehi merasa dirinyalah yang berhak memangku tahta kerajaan. Sementara itu, keluarnya Surat Keputusan Nomor Kep/01/2003 dari tiga pengageng, yakni Pengageng Parentah Keraton, Pengageng Putrasentana, dan Pengageng Parentah Kaputren, mengangkat KGPH Tedjowulan sebagai penerus tahta kerajaan Keraton Surakarta.

Menurut versi KGPH Hangabehi, kapasitasnya sebagai putra lelaki tertua, berhak menjadi pengganti Paku Buwono XII. Karena menurut pandangan pihak Hangabehi, jika tidak ada putra mahkota atau putra yang ditunjuk secara langsung oleh raja pendahulu, maka putra lelaki tertualah yang berhak menjadi raja.

Di sisi lain KGPH Tedjowulan juga menganggap memiliki hak yang sama, karena telah diangkat oleh tiga pengageng Keraton. Menurut pandangan pihak Tedjowulan, bila tidak ada putra mahkota, maka tiga lembaga resmi keraton inilah yang berhak menentukan pengganti raja.

Lantas yang menjadi pertanyaan adalah, sampai kapankah konflik internal ini akan terus berlangsung? Apakah mungkin dalam satu tahta kerajaan ada dua raja kembar? Dan, mungkinkah mereka akan berdamai serta salah satu pihak ada yang mengalah demi kepentingan Keraton Surakarta?

Krendo Wahono


Mengenal Lebih Dekat Situs Krendowahono Kraton Surakarta
“ Bismillahirrohmanirrohim sluman slumun slamet slamet kersaning Allah sengkolo-sengkolo podo nyingkiro jatu’ kramaku cepakno  laailaahaillallah teguh rahayu – rahayu ”
( kata kunci apabila kita memasuki kawasan alas krendowahono, bahwa keselamatan itu harus di utamakan, karena sesuatu yang besar bermula dari yang kecil)

            Do’a itu yang diyakini ampuh apabila memasuki kawasan Alas Krendowahono, do’a tersebut diajarkan oleh Juru kunci alas krendowahono yakni Mbah Lurah Wiryono. Beliau telah mengabdi menjadi juru kunci selama 25 tahun. Di usianya yang hampir 1 abad dengan setia tetap mengemban amanah dari sang Sinuhun Paku Buwono X. Alas yang terletak di pinggir desa Krendowahono, Kecamatan Gondangrejo, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah masih menjadi situs sejarah terkait erat dengan Kraton Surakarta. Untuk mencapai lokasi tersebut kita harus berjalan kaki kira-kira 500 m melalui jalan setapak yang di lapisi batu bata berwarna abu-abu, jalan yang naik turun dan berundak-undak, serta rimbun pohon bambu yang masih liar menambah tantangan tersendiri bagi para peminat sejarah atau bahkan wisatawan. Jalan yang kami lalui ternyata telah melalui proses renovasi oleh pemerintah masa jabatan Hj. Rina Iriani S. Pd  M. Hum. sebagai Bupati Kabupaten Karanganyar. Namun demikian, sangat disayangkan dalam hal perawatan kompleks alas tersebut bisa dikatakan kurang, karena minimnya perhatian dari pemerintah setempat, misalnya penerangan dan perawatan yang layak untuk alas tersebut, padahal alas tersebut merupakan situs yang harus dilestarikan karena nilai kesejarahannya. Alas krendowahono sering juga di datangi oleh pengunjung, baik dari kalangan pelajar/mahasiswa, wisatawan asing maupun lokal. Wisatawan asing yang pernah datang berasal dari prancis, biasanya orang-orang yang mengunjungi situs ini dilatarbelakangi beberapa faktor, ada yang ingin mengetahui sisi sejarahnya, bahkan untuk bertapa agar mendapat keberkahan dalam hidupnya sampai ada yang meyakini apabila kita memohon dengan sungguh-sungguh di depan punden permintaan kita akan terkabul. Dalam lokasi ini terdapat beberapa situs yakni Punden Krendowahono, Bangsal, Selo Gilang dan Sendang. Di setiap masing-masing tempat masih terdapat dupa dan juga kembang 7 rupa yang aromanya menambah suasana Mistik dalam Alas Krendowahono.


Sekilas Sejarah Alas Krendowahono
Alas Krendowahonoadalah tempat yang disakralkan kraton Surakarta yang terletak di desa krendowahono Surakarta. Tempat ini dulunya merupakan hutan yang angker, pepatah mengatakan jalmo moro jalmo mati. Alas krendowahono juga merupakan tempat persemayaman eyang bethari durga. Bila dilihat dari dimensi alam lain alas krendowahono juga merupakan kerajaan dengan pemerintahan yang telah tertata rapi. Pada masa perjuangan melawan penjajah tempat ini sering dijadikan persembunyian dan tempat menyusun strategi penyerangan terhadap penjajahan Belanda. Konon pangeran kerajaan yogya yang terkenal yaitu Pangeran Diponegoro dengan pihak Keraton Surakarta sering mengadakan perundingan di tempat ini dan setiap Belanda mengadakan pengejaran di alas krendowahono  selalu tidak kembali.
Presiden pertama dan kedua kita yakni Soekarno dan Soeharto kabarnya juga pernah menyepi ditempat ini untuk urusan besar mengenai negara. Keberadan tempat ini sangat lama bahkan sudah diketahui sejak jaman Kediri, terbukti dari ramalan Jayabaya yang juga menyinggung mengenai keberadaan tempat ini. Hingga sekarang area alas krendowahono masih tetap membawa kesan angker dan begitu terasa hawa mistiknya.
Tradisi yang tetap dilestarikan
Seiring perkembangan zaman Alas Krendowahono tidak pernah lepas dari adat Kraton Surakarta yakni upacara “Mahesa Lawung”. Upacara mahesa lawung merupakan upacara yang dilaksanakan setiap tahun pada bulan Suro atau Ba’da bulan Maulud. Dalam upacara tersebut dibutuhkan sesaji berupa ayam panggang, kelapa muda, nasi putih, bunga tujuh rupa dan kepala kerbau yang masih dibungkus kain putih. Dalam bahasa jawa Mahesa berarti kerbau, sedangkan Lawung berarti jantan, liar dan belum pernah kawin.
Menurut Pengageng Museum Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KGPH Puger, kepala kerbau adalah simbol kebodohan yang harus diperangi. “Prosesi pemendaman kelapa kerbau di Alas Krendowahono menjadi simbol bahwa kebodohan harus dipendam sedalam-dalamnya”. Dahulu upacara Mahesa Lawung dilaksanakan untuk menghormati para leluhur. Namun, sekarang lebih berkembang karena do’a bukan hanya ditujukan untuk para leluhur tetapi juga dipanjatkan untuk keselamatan negara. Mereka  berharap dengan adanya Upacara Mahesa Lawung  Indonesia menjadi negara yang aman, tentram dan makmur. Dengan mengumpulkan semangat kesadaran kolektif untuk sanggup menderita dan sengsara atau berkorban (lawung) demi keselamatan dan ketenteraman Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tidak lupa demi menegakkan Pathok Negaranya, yaitu Pancasila dan Preambule UUD’45.Gambar

Sumur JalaTunda



Salah satu Objek Wisata yang ada di Dataran Tinggi Dieng yang terletak di sebelah barat Pegunungan Dieng ini adalah Objek Wisata Alam yang terbentuk akibat letusan Gunung purba  ratusan tahun silam  , hingga kini menyisakan sebuah lubang raksasa yang terisi air hujan dan mata air di sekitar sumur tersebut , bisa dikatakan sumur raksasa karena sumur tersebut  berdiameter kurang lebih 90 meter dan mempunyai kedalaman ratusan meter , dan Asal usul nama dari sumur tersebut berasal dari cerita pewayangan atau mahabarata yang konon katanya digunakan sebagai tempat Penghubung Dunia dengan Bumi lapis ke tujuh ( Sapta Pratala ) ,

Dan menurut cerita Masyarakat atau mitos yang berkembang sumur tersebut adalah bekas pijakan kaki sang Bima ( Tokoh pewayangan ) yang saat itu sedang marah lalu Menancapkan kakinya ke tanah sehingga terbentuklah lubang raksasa tersebut yang kini dinamakan oleh masyarakat sekitar dengan nama Sumur Jalatunda , dan tak jauh dari sumur  tersebut juga terdapat Objek Wisata Alam yaitu Kawah Candra Dimuka yang menyuguhkan Pemandangan berupa Semburan air panas ( Fumarola ) setinggi 1 meter  , dan asal usul  nama dari Objek Wisata tersebut juga diambil dari cerita pewayangan mahabarata yang konon katanya tempat tersebut adalah Petirtaan sang Gatotkaca ( Tokoh pewayangan ) yang digunakan untuk Meningkatkan ilmu kesaktianya guna membasmi Kejahatan di muka bumi ,
Dengan letak geografik Dieng yang demikian sebagai area vulkanik atau kepundan aktif dan merupakan daerah lingkaran vulkanik atau Gunung api ( ring of fire atau cincin api  ) sehingga kawasan Dieng tak lepas dari banyaknya objek wisata alam yang terjadi akibat letusan gunung purba Seperti Kawah Sikidang , kawah Sibanteng , kawah Candra Dimuka , Kawah Sikendang , Kawah Timbang , Kawah Pager Kandang , dan  Kawah Siglagah , dan dengan adanya aktivitas di Pegunungan Dieng tersebut tak lepas dari manfaat  Alam Sekitar atau Potensi Sumber Daya Alam yaitu berupa Panas Bumi yang kini diolah sebagai Pembangkit Listik tenaga panas Bumi ( Geothermal ) Unit Dieng oleh PT. GEO DIPA ENERGI DIENG ,

Prabu Brawijaya v Dan Argo Dalem

Hargo Dalem adalah salah satu puncak gunung Lawu di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur. Disanalah dimulainya kisah melegenda Prabu Brawijaya V yang muksa secara misterius. Kisah tersebut dimulai pada akhir zaman Kerajaan Majapahit, 1400 Masehi. Pada masa pasang surutnya Kerajaan Majapahit, yang bertahta sebagai Raja adalah Sinuhun Bumi Nata Brawijaya Ingkang Jumeneng Kaping 5 ( pamungkas ).


www.belantaraindonesia.org
Hargo Dalem Lawu
Dua istrinya yang terkenal ialah Dara Petak putri dari daratan Tiongkok dan Dara Jingga. Dari Dara Petak lahir putra Jinbun Fatah, dari Dara Jingga lahir putra Pangeran Katong. Jinbun Fatah setelah dewasa menghayati keyakinan yang berbeda dengan ayahandanya yang beragama Budha. Jinbun Fatah seorang Muslim. Dan bersamaan dengan pudarnya Majapahit, Jinbun Fatah mendirikan Kerajaan di Glagah Wangi ( Demak ). Melihat situasi dan kondisi yang demikian itu , masygullah hati Sang Prabu. Akankah jaman Kerta Majapahit dapat dipertahankan?

Sebagai raja yang bijak, pada suatu malam, dia pun akhirnya bermeditasi memohon petunjuk Sang Maha Kuasa. Dan wisik pun datang, pesannya : Sudah saatnya cahaya Majapahit memudar dan wahyu kedaton akan berpindah ke kerajaan yang baru tumbuh serta masuknya agama baru ( Islam ) memang sudah takdir dan tak bisa terelakkan lagi.

Pada malam itu pulalah Sang Prabu dengan hanya disertai pemomongnya yang setia Sabdopalon diam - diam meninggalkan Keraton dan melanglang Praja dan pada akhirnya naik ke Puncak Lawu. Sebelum sampai di puncak, dia bertemu dengan dua orang Umbul ( bayan / kepala dusun ) yakni Dipa Menggala dan Wangsa Menggala. Sebagai abdi dalem yang setia dua orang Umbul itu pun tak tega membiarkan tuannya begitu saja. Niat di hati mereka adalah mukti mati bersama Sang Prabu. Syahdan, Sang Prabu bersama tiga orang abdi itupun sampailah di puncak Hargo Dalem.

Saat itu Sang Prabu bertitah : "Wahai para abdiku yang setia sudah saatnya aku harus surut, aku harus muksa dan meninggalkan dunia ramai ini. Kepada kamu Dipa Menggala, karena kesetiaanmu kuangkat kau menjadi penguasa gunung Lawu dan membawahi semua mahluk gaib ( peri, jin dan sebangsanya ) dengan wilayah ke barat hingga wilayah Merapi / Merbabu, ke Timur hingga gunung Wilis, ke selatan hingga Pantai selatan , dan ke utara sampai dengan pantai utara dengan gelar Sunan Gunung Lawu. Dan kepada Wangsa Menggala, kau kuangkat sebagai patihnya, dengan gelar Kyai Jalak."

Suasana pun hening dan melihat drama semacam itu, tak kuasa menahan gejolak di hatinya, Sabdopalon pun memberanikan diri berkata kepada Sang Prabu: "Bagaimana mungkin ini terjadi Sang Prabu? Bila demikian adanya hamba pun juga pamit berpisah dengan Sang Prabu, hamba akan naik ke Hargo Dumiling dan meninggalkan Sang Prabu di sini". Dan dua orang tuan dan abdi itupun berpisah dalam suasana yang mengharukan.

Singkat cerita Sang Prabu Brawijaya pun muksa di Hargo Dalem, dan Sabdopalon moksa di Hargo Dumiling. Tinggalah Sunan Lawu Sang Penguasa gunung dan Kyai Jalak yang karena kesaktian dan kesempurnaan ilmunya kemudian menjadi mahluk gaib yang hingga kini masih setia melaksanakan tugas sesuai amanat Sang Prabu Brawijaya.

Tempat - tempat lain yang diyakini misterius oleh penduduk setempat selain tiga puncak tersebut yakni: Sendang Inten, Sendang Drajat, Sendang Panguripan, Sumur Jalatunda, Kawah Candradimuka, Repat Kepanasan / Cakrasurya, dan Pringgodani.

Bagaimana situasi Majapahit sepeninggal Sang Prabu? Konon sebagai yang menjalankan tugas kerajaan adalah Pangeran Katong. Figur ini di mitoskan sebagai orang yang sakti dan konon juga muksa di Ponorogo yang juga masih wilayah gunung Lawu lereng Tenggara.

Semoga kisah tersebut menjadi bahan pengetahuan kita semua. Mencintai Lawu dan mengerti kisah dibaliknya yang menjadi kisah Indonesia.

Gunung Lawu,Raden Brawijaya dan Adipati Cepu

Gunung Lawu, Terletak di perbatasan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur, Gunung Lawu memiliki panorama alam yang indah. Banyak wisatawan yang minat unutk mendakinya. Gunung ini pun kerap disambangi para peziarah karena menyimpan obyek-obyek sakral bersejarah.


Di gunung berketinggian 3.265 meter di atas permukaan laut (mdpl) ini memang menyimpan berbagai peninggalan sejarah kerajaan Majapahit seperti, Candi Ceto, Candi Sukuh yang Tempat sakral di sekitar Gunung Lawu terutama petilasan-petilasan Raden Brawijaya seperti Pertapaan Raden Brawijaya, dan Cungkup (rumah kecil yang ditengah-tengahnya terdapat makhom).

Konon nisan yang ada di Cungkup itu adalah Petilasan Prabu Brawijaya, bekas Raja Majapahit yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Lawu. Cungkup dan tempat pertapaan Raden Brawijaya ini terletak di Hargo Dalem, puncak tertinggi kedua Gunung Lawu yang merupakan peninggalan Raden Brawijaya selama dalam pelariannya.


Gunung Lawu adalah gunung yang dikeramatkan oleh penduduk sekitar terutama penduduk yang tinggal di kaki gunung lawu ini. Tidak heran bila pada bulan-bulan tertenu seperti bulan Syuro pada penanggalan Jawa, gunung ini ramai didatangi oleh para peziarah terutama yang datang dari daerah sekitar kaki Gunung Lawu seperti daerah Tawangmangu, Karanganyar, Semarang, Madiun, Nganjuk, dan sebagainya.

Mereka sengaja datang dari jauh dengan maksud terutama meminta keselamatan dan serta kesejahteraan hidup di dunia. Lokasi yang dikunjungi para peziarah terutama tempat yang dianggap keramat seperti petilasan Raden Brawijaya yang dikenal oleh mereka dengan sebutan Sunan Lawu. Selain itu Sendang Derajat dan Telaga Kuning dan sebagainya.


Di Gunung Lawu ini, menurut cerita yang berkembang di masyarakat yang tinggal di kaki gunung, bahwa Raden Brawijaya lari ke Gunung lawu untuk menghindari kejaran pasukan Demak yang dipimpin oleh putranya yang bernama Raden Patah, serta dari kejaran pasukan Adipati Cepu yang menaruh dendam lama kepada Raden Brawijaya.
Konon Raden Brawijaya mukso (menghilang dari dunia nyata tanpa meninggalkan jasad) di Gunung Lawu ini dibuktikan dengan adanya Cungkup serta petilasan-petilasannya di Gunung Lawu ini.


Pengejaran Raden Brawijaya di Gunung Lawu

Menurut kisah, setelah runtuhnya Kerajaan Majapahit, muncul kerajaan Islam yang berkembang cukup pesat yaitu Kerajaan Demak yang dipimpin oleh seorang raja bernama Raden Patah, masih merupakan putra Raden Brawijaya.

Beliau menjadikan Kerajaan Demak menjadi kerajaan besar di Jawa. Pada saat itu Raden Patah bermaksud mengajak ayahnya yaitu Raden Brawijaya memeluk agama Islam, akan tetapi Raden Brawijaya menolak ajakan anaknya untuk memeluk ajaran yang dianut Raden Patah.

Raden Brawijaya tidak ingin berperang dengan anaknya sendiri dan kemudian Raden Brawijaya melarikan diri. Penolakan ayahnya untuk memeluk agama Islam membuat Raden Brawijaya terus dikejar-kejar oleh pasukan Demak yang dipimpin oleh Raden Patah.

Untuk menghindari kejaran pasukan Demak, Raden Brawijaya melarikan diri ke daerah Karanganyar. Disini Raden Brawijaya sempat mendirikan sebuah candi yang diberi nama Candi Sukuh yang terletak di Dusun Sukuh Desa Berjo Karanganyar. Tetapi belum juga merampungkan candinya, Raden Brawijaya keburu ketahuan oleh pasukan Demak, pasukan Demak dan pengikut-pengikut Raden Patah terus mengejarnya sehingga Raden Brawijaya harus meninggalkan Karanganyar dan meninggalkan sebuah candi yang belum selesai sepenuhnya.


Kemudian Raden Brawijaya melarikan diri menuju kearah timur dari Candi Sukuh. Di tempat persembunyiannya, Raden Brawijaya sempat pula mcndirikan sebuah Candi, tetapi sayang tempat persembunyian Raden Brawijaya akhirnya diketahui oleh Pasukan Demak.


Raden Brawijaya melarikan diri lagi dengan meninggalkan sebuah candi yang sampai sekarang dikenal masyarakat dengan sebutan Candi Ceto. karena merasa dirinya telah aman dari kejaran Pasukan Demak, Raden Brawijaya sejenak beristirahat akan tetapi malapetaka selanjutnya datang lagi kali ini pengejaran bukan dilakukan oleh Pasukan Demak tetapi dilakukan oleh pasukan Cepu yang mendengar bahwa Raden Brawijaya yang merupakan Raja Majapahit bermusuhan dengan kerajaan Cepu masuk wilayahnya sehingga dendam lama pun timbul.

Pasukan Cepu yang dipimpin oleh Adipati Cepu bermaksud menangkap Raden Brawijaya hidup atau mati. Kali ini Raden Brawijaya lari ke arah puncak Gunung Lawu menghindari kejaran Pasukan Cepu tapi tak satu pun dari pasukan Cepu yang berhasil menangkap Raden Brawijava yang lari ke arah puncak Gunung Lawu melalui hutan belantara.

Didalam persembunyian di Puncak Gunung Lawu, Raden Brawijaya merasa kesal dengan ulah Pasukan Cepu lalu ia mengeluarkan sumpatan kepada Adipati Cepu yang konon isinya  

Sawijining ono anggone uwong cepu utawi turunane Adipati Cepu pinarak sajroning gunung lawu bakale kengeng nasib ciloko lan agawe biso lungo ing gunung lawu. 

( jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung Lawu.)

Dan katanya bahwa sumpatan dari Raden Brawijaya ini sampai sekarang tuahnya masih diikuti oleh orang-orang dari daerah Cepu terutama keturunan Adipati Cepu yang ingin mendaki ke Gunung Lawu, mereka masih merasa takut jika melanggarnya.


Asal Usul Kerajaan Jin Laut Selatan

BABAD TANAH JAWA RIWAYAT DEWI NAGA HIJAU LAUT SELATAN,, PENGUASA LAUT SELATAN

Pada zaman Rasulullah (nabi Muhamad) diutus oleh Allah bangsa Jin (bangsa dewa-dewi) tidak boleh lagi menemui manusia di alam gaib,tidak bermain lagi di kancah dunia luar. Di Tanah Jawa setelah era para wali songo mereka mundur dan mengizinkan Islam disebarkan di Tanah Jawa. Demikian Syekh Mafudin menjelaskan kepada kami pada pagi hari setelah berjamaah shalat subuh. Pada suasana masih gelap saya dapat melihat nenek Dewi naga selatan berada disekitar kami namun dalam bentuk bayangan. Sang Dewi hanya tersenyum dan memanggut tanda setuju kepada Syekh untuk menceritakan Babat Tanah Jawa.

Sejak zaman dulu 50.000 tahun yang lalu, Dewi naga selatan ditempatkan bersemayam di tanah Jawa di Indonesia. Atas perintah Bapaknya Malaikat JAAN untuk menetap dan tinggal di daerah gunung selok.Yang dimana Letak persisnya di gunung Selok daerah Cilacap perbatasan Jawa Barat dan Jawa Tengah. Dimana di daerah Cilacap ini tempat letaknya Pusatnya Puser Bumi dan Bersemayam Para Dewa-Dewi seluruh Dunia dan juga tempat tinggalnya Sanghiyang Wenang dan Sanghiyang Wening begitu juga Eyang Semar ( Sanghiyang Ismaya ),yaitu salah satu Dewa yang bermain di tanah Jawa.Yang dimana Eyang Semar ini adalah utusan dari Sanghiyang Sys untuk mengajarkan orang Jawa tentang tata krama yaitu tentang sopan santun bijaksana dalam segala hal harus legowo dalam hidup tapi bukan berarti tidak berusaha pasrah bukan berarti diam diri ya harus bisa berpikir mana yang baik dan mana yang tidak baik buat kita jangan terima mentah-mentah.Yang mana Sanghiyang Sys ini adalah Kakak pertama dari Dewi Naga Selatan.

Dewi naga selatan mempuyai 3 orang anak yaitu: Dewi Blorong, Dewi Rara Panas atau Dewi Kidul dan Dewi Ningrum.

1. Dewi Blorong
menguasai sebagian Jawa Barat dan Jawa Tengah di Indonesia.

2. Dewi Rara Panasmenguasai daerah Jawa barat dan sebagian Jawa Tengah di Indonesia.

3. Dewi Ningrum
hanya menguasai Jawa Timur saja.

Ketiga putrinya ini masing-masing memiliki sukma sejati Ular Kobra, Naga Hijau dan Ular Sanca . Ketiga putri bangsa jin itu memiliki sifat dan perwatakan yang berbeda-beda .
Dewi Rara Panas adalah Dewi yang berparas cantik dan memiliki kemiripan dengan ibunya Dewi Naga Selatan yang bersifat welas asih dan bijaksana. Sedangkan saudara tuanya yakni Dewi Blorong berwatak panas, digjaya dan menjadi ratu penguasa ilmu kegelapan. Beliaulah Dewi dari segala lelembut yang menyebarkan ilmu kekebalan, ilmu kesaktian, ilmu santet dan sebagainya.
 
Oleh karena itu kekacauan yang disebabkan oleh ilmu-ilmu tersebut sebenarnya berasal dari Dewi Blorong dan bukan lah dari Dewi Rara Panas(Dewi Rara kidul). Dewi ningrum adalah Ratu yang berwatak dingin dan lemah lembut, tokoh yang terakhir ini jarang muncul di dunia spiritual ketimbang kedua tokoh sebelumnya yakni Dewi Blorong dan Dewi Rara Panas.

Dewi Blorong mengangkat 2 orang anak, yang pertama adalah Dewi Kaditha. Dewi Kaditha adalah putri raja dari ratu di zaman kerajaan Sunda Kuno yaitu Prabu Munding Wangi mendapat cercaan dan hinaan akibat adanya fitnah yang disebarkan kerabat istana. Putri raja tersebut akhirnya diasingkan ke hutan karena selain tidak disukai dikalangan istana,ia memiliki penyakit kulit yang sangat aneh.Walaupun seorang putri raja namun dengan penyakit kulit seperti ini tubuhnya menjadi amis dan berbau busuk.Diduga putri tersebut terkena ilmu teluh dari para punggawa istana karena disuruh oleh beberapa kerabat istana yang terkena “bisikan jahat” tersebut.

Akhirnya sang putri berputus asa dan terus berjalan tanpa arah sehingga sampailah ia disuatu tebing samudra yang bergelombang lautnya sangat dahsyat.Lalu ia mendengar ada bisikan yang dimana yang membisikan itu adalah Dewi Blorong penguasa laut selatan dari Bangsa Jin.Kemudian ia berjanji kepada penguasa laut untuk menerimanya menjadi pengikutnya. Namun sang penguasa laut yaitu Dewi Blorong memberkati ia sebagai ratu di alam goib dengan satu syarat.Syarat tersebut adalah sang putri harus terjun ke laut supaya dapat menjelma menjadi bangsa lelembut atau ruh halus.Dan akhirnya sang putri lalu dijadikan Ratu penguasa pantai selatan di pelabuhan Ratu, Sukabumi,Jawa Barat mengenai adanya petilasan Roro kidul dan makamnya yang berukuran besar disana.Ini adalah kisah nyata bukan legenda.
Salah satu pemimpin Republik Indonesia Presiden Pertama yaitu Bapak Soekarno dibantu oleh Ratu Kaditha penguasa Laut Selatan yang berada didaerah Jawa Barat Letak persisnya di daerah sukabumi karanghawu.

Anak ke dua dari Dewi Blorong adalah anak dari Ratu Atas Angin yaitu Putri NawangWulan.Untuk menjadi penguasa pantai selatan karena telah teruji sebagai pelaku di bumi dengan ketabahan dan kasih sayang layaknya seorang wanita manusia.Pada waktu itu Putri Nawangwulan yang turun mandi bersama saudara-saudaranya mereka bertujuh tapi diantara semuanya dialah yang paling cantik dan baik hati yang dimana mereka mandi disebuah telaga di bumi (Tanah Jawa).mereka bersenang- senang tertawa bersama bersuka ria tapi tanpa disadari mereka ada yang melihat sesosok manusia yang berjenis lelaki,betapa kagetnya dia sambil mengintip di semak – semak belukar melihat bidadari cantik-cantik sedang mandi dan kebetulan laki-laki tersebut adalah orang sakti yang bernama Joko Tarub lalu dia ambil salah satu selendang dari bidadari yang sedang mandi di telaga tersebut.


Kemudian dia simpan dibalik bajunya.Tibalah saatnya para bidadari tersebut untuk kembali terbang ke angkasa meniti pelangi.Enam bidadari telah siap dengan membentangkan selendangnya.Namun seorang putri masih sibuk mencari-cari dimanakah gerangan selendang yang ia letakkan dibalik semak.

Alangkah gundah gulananya sang putri mana kala para bidadari telah terbang menuju angkasa.Akhirnya ia mengadu dan menangis sejadi-jadinya disebuah akar pohon besar ditepi telaga.Joko Tarub mengambil kesempatan ini untuk merayu sang putri agar jangan terlalu bersedih dan berduka,karena ia bersedia menolong dan memberinya tempat tinggal sampai selendang yang dicari ditemukan.Ini juga bukanlah legenda tetapi kisah nyata yang terjadi di dunia.

Dan pada suatu masa sang putri berhasil menemukan selendang miliknya disebuah guci yang selalu dirahasikan oleh suaminya Joko Tarub.Akhirnya sang putri mempersiapkan diri kembali ke telaga untuk terbang menuju angkasa di keratonnya Ratu Atas Angin.Yang dimana mempunyai anak satu laki-laki berusia masih berumur 1 thn. Sebenarnya sang putri berat meninggalkan anaknya semata wayang tapi dia kangen juga dengan keluarganya yang di Angkasa. 


Joko tarub sangat terkejut dan sedih harus kehilangan Sang putri Nawangwulan dan dia memohon untuk tinggal beberapa masa lagi sambil berlari dan menggendong anaknya yang masih kecil.Setelah sekian lama Putri Nawangwulan pulang ke asalnya. Mulailah sang putri mikirin suami dan anaknya yang di Bumi lalu dia minta ijin sama ibundanya untuk menemuinya sebentar. Lalu ibundanya mengatakannya sekalinya turun anakku,turunlah untuk selamanya karena bunda sudah tahu apa yang akan terjadi dengan dirimu. Dan nanti anakku akan diangkat anak oleh turunan Bangsa Jin yang menguasai wilayah jawa tengah yaitu Dewi Blorong. Tapi anakku akan hidup didunia hanya 35 tahun dan anakmu sendiri tidak lama hidup di dunia hanya sampai remaja nanti meninggalnya karena sakit. 

Dan akan ikut dirimu anakku di alam sana,kalau anakku sudah siap bunda antarkan sekarang atau mau dipikirkan lagi lalu dengan tegas Putri Nawangwulan mengatakan dengan berat hati saya siap apapun yang akan terjadi saya didunia akan saya jalani dan tidak akan meninggalkan ajaran dari leluhur sendiri.Baik kalau begitu dengan air mata berlinang dia mencium tangan ibundanya mohon restunya kuatkan hatimu bunda akan tetap memberikan ilmu tapi dipakai saat yang darurat anakku.Lalu Bunda Ratu Atas Angin memanggil pengawal pribadinya dan beberapa punggawanya yang dipercaya untuk mengawal turun ke Bumi.

Yang dimana dengan diiringi 50.000 bala tentara dengan kereta kencana yang ditunggangi dan ditarik 4 ekor kuda terbang menuju Telaga yang dimana tempat pertama bertemu dengan Joko Tarub. Setelah sampai di tempat tersebut,betapa senangnya Putri Nawangwulan karena bisa dapat bertemu dengan suami dan anaknya,lalu dia buru-buru mendatangi rumah Joko Tarub, sesampainya disana,dia hanya melihat anaknya sedang bermain sendiri. Lalu dia bertanya kepada anaknya kemana bapakmu nak dijawab dengan mata memandang dan tertegun sejenak,bapak ada di sawah terkadang mengajarkan orang bela diri lalu Putri Nawangwulan menangis hatinya ingin rasanya memeluk tapi takut anak itu ketakutan. Ya sudah saya tunggu disini bapakmu pulang kenalkan nana saya Ibu Nawangwulan lalu anak itu berkata; oh ini yang diceritakan bapak bahwa saya mempunyai ibu berasal dari langit,yang bukan asli Manusia dari alam lain.


Putri Nawangwulan kaget tidak disangka bahwa bapaknya bercerita tentang siapa dirinya langsung dipeluk anaknya dengan menahan tangis.Yang dimana anak itu sudah berusia 6 tahun, tapi batín Putri Nawangwulan mengatakan,padahal baru beberapa bulan sudah sebesar ini.Lalu mereka bermain bersama tertawa bercanda tanpa disadari ibunda Putri Nawangwulan melihat dari kejauhan dimana anaknya bahagia.

Dan tak lama kemudian datanglah Joko Tarub pulang ke rumah melihat istrinya Nawangwulan kembali.Apa yang dipikirkan selama ini Bahwa istrinya tidak akan datang lagi dan tidak mau memaafkan dirinya dan tidak akan mau bertemu lagi anaknya yang di Bumi.Akhirnya mereka saling berpelukan dan saling tangis-tangisan dan saling maaf-maafan.Suatu saat kemudian Putri Nawangwulan bermain ke pantai di Jawa Tengah bersama anaknya pada saat suaminya pergi ke ladang,dia ingin mengajak anaknya melihat pantai laut yang luas supaya anaknya mengerti alam di Bumi ini. Tapi tanpa disadari dari kejauhan di pantau oleh Dewi Blorong dan Panglimanya yang dimana Dewi Blorong Tahu suatu saat anak ini akan menjadi penguasa Laut Selatan.Dan Pada saat itu juga Dewi Blorong mau pulang ke istananya.Dan Dewi Blorong bilang kepada Panglimanya sekarang belum saatnya untuk diambil.

Setelah puas bermain pulanglah Putri Nawangwulan dengan anaknya yang sudah tak terasa sudah sore takut suaminya mencari-cari.Seiring sejalan anaknya sudah mulai besar meningkat remaja usia 20 tahun mulailah anaknya sakit-sakitan karena tidak ada obat yang membuat anaknya sehat lagi,maka jadilah ibundanya terpikiran terus dan akhirnya tidak mau makan,tidak mau tidur,akhirnya ikut sakit juga karena dia ingat cerita ibundanya usianya tidak lama di Bumi. Putri Nawangwulan sempat sebentar berbicara dengan ibundanya lewat Bathinnya,Salam Sejahtera Ibunda Nawangwulan,apakah tidak bisa di kasih waktu sudah sembilan tahun lamanya anaknya sakit tidak sembuh-sembuh apa ini sudah menjadi takdirnya anakku Ibunda sambil menangis Putri Nawangwulan karena tanpa anak saya,Putri Nawangwulan tidak bisa hidup karena belahan hati Putri Ibunda.Lalu ibundanya berkata dari awal bunda sudah bicara memang itu jalan hidupmu anakku karena mengikuti alam manusia yang dimana harus mati,tapi nanti ada yang menjemputmu dari Bangsa Jin Yaitu Dewi Blorong yang akan menjadi Ibu angkatmu di Laut Selatan.Ya sudah kalau begitu Putri Nawangwulan akan mengikuti peraturan yang ada kalau memang itu takdir Putri dan anak Putri terima kasih Ibunda salam sejahtera selalu.Ya ibunda hanya bisa mendoakan dari jauh. Tak lama kemudian ada yang datang yang ternyata utusan Dewi Blorong untuk membawa anaknya dan Putri Nawangwulan,lalu putri Nawangwulan berkata silahkan apabila mau dibawa anak saya, Saya siap dan tak lama kemudian dibawa oleh utusannya.

Tidak berapa lama kemudian Putri Nawangwulan dibawa juga,tapi sebelum dibawa dia menitip pesan kepada suaminya Mas Joko Tarub jagalah dirimu baik-baik dan harus hati-hati dengan siapa saja.Lalu Putri Nawangwulan berkata saya sudah dijemput waktuku sudah tiba selamat jalan.Dengan berteriak Nawangwulan jangan tinggalkan saya sama siapa nanti saya akan hidup tanpa kalian saya tidak akan berdaya sebelum nafas terakhir pergi saya akan membantu Mas Joko di alam sana. Lalu pergilah Putri Nawangwulan dibawalah oleh utusan Dewi Blorong untuk dibawa ke Istana Dewi Blorong yang dimana sudah di tunggu di singgasananya untuk menerima Putri Nawangwulan yang nantinya untuk diajarkan ilmu kesaktian dan kejayaan dan akan bersatu dengan anaknya yang dimana anaknya akan membantu nantinya.
Setelah sampai di Istana lalu dibawa menghadap ke Dewi Blorong dengan rasa hormat Putri Nawangwulan memberi salam lalu dibalas kembali salammu Saya terima,berdirilah anakku,kini dirimu panggil Saya Bunda pengganti ibumu yang di angkasa sebagai ibu angkatmu yang di Laut Selatan dan dimana bunda akan mengajarkan Nawangwulan ilmu politik kerajaan dan kesaktian dan juga kejayaan dan dimana diajarkan apabila ada manusia yang gampang dan goyah keimanannya Nawangwulan ajak untuk membuat suatu perjanjian tertulis dan lisan tanpa disadari telah ditipu oleh bangsa lelembut.Setelah diajarkan selama 2 tahun barulah dinobatkan menjadi penguasa Laut Selatan yang menguasai dari parangteritis sampai dengan parangkusumo yang dimana Istananya bersebelahan dengan Dewi Blorong, dia diberi pasukan banyak Panglima dan ada Mahapatih,Patih,Punggawa pengawal pribadi dan lain-lain.

Dan setelah mahir dan pintar mengatur tatanegara di Istana,disinilah mulai Ratu Nawangwulan bermain selain membantu suaminya di dunia dan Ratu Nawangwulan mencari manusia untuk membantu mereka tetapi minta syaratnya yaitu minta nantinya mau jadi pengikut saya terserah berapa yang mau dikasih dan dimana pantangannya tidak boleh menantang saya dengan memakai baju Merah atau Hijau tapi kalau tidak tidak akan diapa-apakan atau tidak disakiti.Seiring dengan waktu tiba-tiba Lautnya merasa terguncang ada apa gerangan diatas sana siapa yang membuat goncangan dengan dasyatnya lalu dibukanya kaca Benggalanya.


Setelah melihat itu semua, lalu Ratu Nawangwulan keluarlah dari Istananya dan menghampiri laki-laki muda yang sedang bertapa di atas Batu dipinggiran tebing,wahai Senopati ada apa engkau mengganggu dan mengguncangkan Istanaku apa yang kamu inginkan Senopati lalu ia berkata wahai Ratu Penguasa Laut Selatan saya ingin jadi Raja bisakah Ratu membantu saya untuk mewujudkan keinginan saya,baik Ratu Nawangwulan berkata saya akan membantu Senopati menjadi Raja besar di Tanah Jawa dan begitu juga sampai keturunanmu kesananya,tapi ada syaratnya harus mau menikah dulu dengan saya maukah Senopati ikut dengan saya ke Istana saya lalu dijawab oleh Senopati baik Kanjeng Ratu lalu dibawalah Senopati ke Istananya disana dipersiapkan acara untuk persiapkan pesta pernikahan tapi sebelum itu,Ratu Nawangwulan melapor kepada Dewi Blorong bahwa saya mau menikah dengan manusia yang dimana minta tolong saya untuk membantu membuat Istana di Tanah Jawa ini lalu direstui oleh Dewi Blorong.Kemudian pernikahan dilangsungkan dengan meriah dan setelah itu Ratu Nawangwulan mengingatkan perjanjiannya jangan lupa istana itu buatkan khusus untuk Saya dan saya juga minta anakmu yang lahir dari istri-istrimu dan akan Saya juga majukan anak-anakmu untuk meneruskan generasi Senopati dan nanti akan kasih gelar bukan Raja tapi Panembahan Senopati karena bukan turun dari keturunan asli Raja,karena kanda adalah seorang Panglima yang berambisi ingin jadi Raja,dengan Panembahan Senopati mempunyai anak satu Laki-laki yang berbadan sukma dengan Ratu Nawangwulan.Akhirnya Terbentuklah suatu Istana Besar di Jogyakarta hingga sekarang yang dimana tidak pernah lepas adanya sesaji-sesaji di setiap tiang-tiangnya.Dan lilitin kain kuning dan hijau itu semua permintaan Ratu Nawangwulan.

Saya akan menceritakan sedikit tentang siapa Ratu Atas Angin Ibunda yang sekarang anaknya sudah menjadi Ratu Penguasa Laut Selatan yaitu Ratu Nawangwulan.Ibunda Ratu Atas Angin itu adalah Ratu Ciptaan dari Dewi Bulqis.Yang bersemayam di Atas Awan. 

Yang sekarang ciptakan Ratu-Ratu dan yang dimana orang-orang temui itu di Laut Selatan adalah Ciptaan dari kedua Ratu tersebut yaitu Ratu Kaditha dan Ratu Nawangwulan atas sepengetahuan Dewi Blorong.

Cerita ini disampaikan untuk mengetahui bahwa belajar ilmu gaib akan ada dampaknya dalam diri sendiri dan turunannya memang ada yang berhasil dan ada juga yang tidak berhasil,tapi banyak yang tidak berhasil,dan itu dapat merubah takdir yang sudah ditentukan oleh ALLAH SWT.Dan untuk merubah takdir itu harus dikeluarkan siluman-siluman dari badan manusia,yang dimana harus dilawan dari Hatinya.


Karena ada turunan yang asli menjaga di dalam badannya apabila tidak dikeluarkan pasangan yang liar liar tidak akan keluar turunan aslinya yang jaga tidak bisa bermain karena turunannya menginginkan keberhasilan dan kejayaan dan kekayaan,tapi terkadang manusia tidak menyadari pergi kemana-mana malah menutup diri sendiri tanpa disadari rejekinya terambil oleh orang lain. Dan kalau ingin menjadi sejatinya manusia harus dikeluarkan siluman-siluman dari dalam badan manusia supaya hilang apes dan terbuka kembali rejekinya.Tapi itu tidak mudah kalau tidak dilawan dari Hati yang paling dalam dengan kekuatan diri dengan izin ALLAH SWT.