Lagi nongkrong di teras belakang mess ada
ular nyamperin. Karena paling ogah berurusan dengan makhluk melata itu,
aku minta tolong orang lokal untuk mengusirnya agar tidak masuk.
Dari obrolan dengan
orang asli sini setelahnya, aku bisa mengerti bahwa pemahaman tentang
ular dan mitosnya tidak berbeda jauh dengan di Jawa. Misalnya
tentang ular bila disakiti bisa mengenali pelakunya. Jika terbunuh,
teman-temannya akan nyamperin untuk membalaskan dendam. Makanya bila
terpaksa harus membunuh ular, eksekusinya musti dilakukan secara cepat
di bagian kepala. Kudu langsung mati sebelum dia memanggil ular lain.
Kental berbau mitos memang.
Namun aku punya teman aktifis komunitas yang kerjaannya meneliti mitos-mitos di masyarakat secara iptek modern. Salah satunya penelitian di goa Nagaraja yang terletak di pantai Selok Cilacap. Mereka tertarik dengan cerita tentang berkumpulnya ular-ular dari segala penjuru dalam waktu tertentu di goa tersebut.
Secara umum, daerah Selok Srandil memang sangat lekat dengan hal-hal berbau mistis yang menyangkut sejarah panjang kekuasaan negeri ini. Dimulai sejak jaman Majapahit dimana Gajahmada dipercaya menjalani masa pensiun sebagai pertapa di situ. Dilanjut saat Danang Sutawijaya alias Panembahan Senopati mengambil sejumput tanah sebagai syarat agar bisa membabat hutan Mentaok yang menjadi cikal bakal Mataram. Sampai masuk era modern, Soekarno dan Soeharto pun menjadikan gunung Selok sebagai tempat mengasah kemampuan spiritualnya.
Kembali ke soal penelitian teman...
Mereka mendapatkan data, bahwa di tempat-tempat yang dikatakan angker, pada waktu-waktu tertentu ada pancaran frekuensi elektromagnetik di kisaran gelombang 28 kHz. Anehnya gelombang itu hanya ditemukan terbatas di lokasi angker dan tidak terdeteksi di luar wilayah itu.
Secara pseudoscience, mereka membuat kesimpulan bahwa berkumpulnya ular di goa Nagaraja ada
hubungannya dengan kemunculan frekuensi misterius itu. Sedangkan
menurut mitos yang berkembang di masyarakat, ular-ular itu sedang
dikumpulkan oleh pejabat kerajaan laut selatan yang bernama Nyi Blorong.
Jadi ada 3 hal yang
bisa ditarik benang merahnya. Pertama ular bisa mengenali orang yang
menyakiti dan mengirimkan data tersebut kepada ular lain. Kedua, ada
frekuensi 28 kHz misterius saat ular-ular berkumpul di gua Nagaraja. Dan terakhir tentang mitos Nyi Blorong.
Aku jadi mikir bahwa ular itu tak ubahnya CCTV yang berfungsi untuk merekam dan menyimpan data kemudian mengirimkan secara wireless menggunakan sinyal 28 kHz ke server laut selatan yang dikelola Nyi Blorong.
Membunuh ular harus mati sekali pukul di bagian kepala, bisa jadi karena DVR dan transceivernya
terletak di situ. Ini sama dengan strategi militer yang selalu
menyerang fasiltas radar dan komunikasi dalam kesempatan pertama sebelum
menyerang unit lainnya.
Bila dihubungkan dengan keyakinan ala kraton Jogja yang menganggap Nyi Roro Kidul itu nyata, bisa jadi kerajaan Laut Kidul sebenarnya sekumpulan manusia ultra modern
dengan kecanggihan teknologi kamuflase sehingga tidak bisa kita
deteksi. Kita menganggap itu ghaib atau khayalan, karena memang
teknologi kita belum sampai kesana. Ini sama dengan manusia tahun 80an
mengatakan hape di film Startrex sebagai imajinasi sutradara semata.
Mantap juga bila benar seperti itu...
Intinya
Tak perlu
dipikirkan terlalu jauh. Ini hanyalah pemikiran liarku yang bermodalkan
praduga tak bersalah saja. Dianggap gila pun tak masalah karena itu
hanyalah sebuah wacana. Yang jelas aku selalu tertarik dengan mitos atau
cerita rakyat dan ingin menuangkannya kedalam logika modern...