
Terletak di tepi Pantai Selatan Kabupaten Cilacap, sepintas Gunung ini seperti bukit biasa. Namun, ternyata di dalamnya dan di sekitarnya terdapat banyak panepen dan petilasan yang sering digunakan untuk meditasi/semedi/ritual. Yang perlu kita ketahui adalah bahwasanya Gunung Selok maupun Gunung Srandil (sebelah timur Gn. Selok) adalah bukan tempat kemusyrikan. Kita harus maksud bahwa yang musyrik tentunya bukan gunungnya, yang musyrik bukan goanya, yang musyrik bukan batunya, tetapi niat hati kita masing-masing yang ingin beritual atau sekedar berkunjung ke Gunung Selok ini.

Mengulas
Gunung selok, tentu kita setidaknya mengetahui sekilas mitosnya.
Berdasarkan buku “Gunung Srandil dan Selok tersirat Sang Pamon
Nusantara” karya Sidik Purnama Negara, berbicara Gunung Selok sama
dengan berbicara kehidupan yang bisa dilihat maupun yang tak terlihat.
Dimana dalam kepercayaan spiritual orang jawa, Tuhan pun menciptakan
dewa. Dimana asal muasalnya dewa adalah manusia yang menyalahi kodrat
dimana ia selalu ingin hidup di dunia ini. Namun ternyata Tuhan
mengabulkannnya dalam bentuk dimensi lain yang berbeda dari manusia
normal Dewa ditempatkan di Puncak Hima-Himalaya. Sedangkan kewenangannya
dilarang mencampuri urusan alam dunia, kecuali Dewa-dewa terkhusus. Berkaitan
dengan mitos Gunung Selok, sangat erat kaitannya dengan uraian dan
ungkapan sejarah diatas. Sejarah menceritakan, pada waktu di alam dunia
ini masih zaman kenabian, khususnya pada masa kepemimpinan Nabi Musa As, pernah terjadi penyimpangan batas-batas kewenangan dari alam kadewataan.
Pemimpin para dewa (Betara Guru) turut campur tangan dengan alam dunia
atau alam manusia. Betara Guru menitis (menyatu ke aura tubuh) kepada
manusia di belahan Negeri Mesir yang terkenal dengan Raja Fir’aun.
Karena titisan oleh rajanya para dewa, maka Raja Fir’aun punya
kedigdayaan dan kesaktian yang luar biasa dengan kedigdayaan dan
kesaktian yang luar biasa membuat Raja Fir’aun menyekutukan Tuhan Yang
Maha Esa, dan akhirnya Sang Raja mengakui Tuhan yang wajib disembah.Raja Fir’aun ditaklukan dengan tongkat mukjizat Nabi,
sedangkan Betara Guru dan seluruh para Dewa diusir dari Kahyangan
Hima-himalaya menuju Pulau Dawa (Pulau Panjang, sebutan Pulau
Sumatera&Pulau Jawa sebelum Krakatau meletus). Karena harus beradaptasi dengan tempat yang baru di Pulau Dawa yang belum pernah ada penghuninya. Itulah
akibat dari tindakan yang melanggar batas-batas kewenangan hidup (hak
hidup) pemberian Tuhan. Setelah beberapa waktu menempati Pulau Dawa
(Jawa) dengan penuh keprihatinan, para Dewa mulai membangun kahyangan
baru. Kahyangan tersebut dinamakan Kahyangan Junggring Saloka atau Junggring Seloka.
Nama
tersebut sesuai dengan keadaan para dewa yang dihadapkan dengan
teka-teki kehidupan. Walau para dewa telah bertempat di kahyangan baru,
tetap saja merasa gelisah, sebab telah merasa mengingkari kodrat dan
melanggar aturan Tuhan. Untuk itu para dewa tidak henti-hentinya
bertobat, agar segera diampuni segala kekeliruannya.

Tuhan
memang Maha Pengasih dan Penyayang serta penuh dengan ampunan. Pada
saat yang telah ditentukan, para dewa diampuni dan diperbolehkan kembali
ke Kahyangan Hima-Himalaya, serta melaksanakan tugasnya sebagaimana
mestinya. Sepeninggalan Para Dewa kembali ke Himalaya, tempat yang
dulunya dinamakan Junggring Seloka, sekarang dikenal dengan nama Gunung Selok.
Sungguh
luar biasa, Gunung Selok dulunya adalah tempat bersemayamnya para dewa,
hingga sampai sekarang masih nampak keasriannya. Beberapa pendukung
dalam mitos ini, adalah banyaknya tempat ritual di Gunung Selok,
diantaranya Petilasan Sang Hyang Wisnu dan Batu Tapak Bima.
Semoga mitos ini adalah kenyataan atau minimal tidak jauh dari yang
sesungguhnya. Tujuan penulis semoga mitos ini sedikit atau sepenuhnya,
akan bisa membantu kejelasan para ritualis atau pihak lain yang
membutuhkan, dengan tidak menyimpang dari tujuan Keesaan Tuhan.