Minggu, 08 Desember 2013

Antara Hasrat dan Kemauan



Bagi sebagian masyarakat yang masih meyakini bahwa tempat-tempat tertentu memiliki kekuatan tersendiri sebagai media menenangkan pikiran, mengatasi permasalahan dan merubah nasib. Ini bisa dilihat dari beberapa tempat sacral yang juga menjadi tujuan wisata religi. Sebagai contoh adalah Gunung Selok atau Bukit Selok. Tempat ini berada di wilayah kecamatan Adipala sekitar 25 km arah timur kota Cilacap atau 10 km dari Kroya.
Setiap malam Selasa Kliwon dan Jumat Kliwon serta Minggu Wage, tempat yang berada di perbukitan dan berada di tepi pantai samudera Indonesia ini dari berbagai  pelosok tanah air kota di tanah air bahkan ada pula yang datang dari luar negeri. Di sebelah timur Bukit Selok terdapat bukit yang cukup popular dengan sebutan Gunung Srandil. Padahal bukit ini lebih kecil dibanding dengan Bukit Selok yang memajang. Namun karena masyarakat sejak semula menyebut Gunung Srandil maka hingga kini istilah bukit tetap dengan sebutan gunung.
Seperti halnya tempat spiritual lainnya, yang bekunjung ke situ biasanya menggunakan jasa juru kunci. Di Gunung Selok ini terdapat puluhan juru kunci yang memiliki pelanggan sendiri sendiri menurut sugestinya masing-masing. Bagi yang sudah biasa didampingi oleh juru kunci tertentu dan merasakan ada perubahan nasib niscaya tamu ini tidak mau berpindah ke juru kunci yang lain.
Menurut Ibu Ratini (60) pedagang warung di bukit Selok yang juga menyediakan berbagai keperluan jiarah seperti kembang, menyan dan berbagai keperluan selamatan lain.  Ia betutur bahwa pada hari-hari besar Jawa seperti  1 Syura, Selasa Kliwon, Jumat Kliwon dan Minggu Wage banyak warga yang berjiarah ke tempat ini.
“Kebanyakan mereka dari jauh.  Dari Sumatera, Kalimantan dan luar Jawa lainnya bahkan dari luar negeri seperti Malaysia dan Singapura juga ada. Umumnya mereka ke sini sebagai ujud syukur karena disana sudah berhasil,” ujar wanita yang juga mantan istr juru kunci di Bukit Selok ini. Ada yang datang sendirian namun ada pula yang bersama keluarga dan tetangga. Ada yang sekedar jiarah namun ada juga yang menenangkan dirinya dengan samadi berhari-hari.
Selok
Lembu Semingkir.
Menurut cerita legenda atau hikayat yang tercatat dalam sebuah buku berjudul Kumpulan Legenda Kabupaten Cilacap yang diterbitkan oleh Yayasan Pembinaan Generasi Muda, bahwa ihwal cerita tentang gunung Selok ini bermula dari hilangnya kotak wasiat Gunung Srandil yang menjadi bahan pembicaraan di Padepokan Jambe Pitu. Oleh Ki Trunaseloka salah seorang pengawal SanggarPamujan diceritakan beberapa kejadian tentng hilangnya kotak wasiat tersebut.
Dikatakan,  menjelang senja ketika ia sedang berada di depan pintu padepokan tiba tiba saja wajahnya tersapu oleh angin sepoi-sepoi dari arah depan dan tak lama kemudian ia jatuh dan tak sadarkan diri. Setelah siuman tak lebih dari jarak 5 m dari tempat ia berdiri, kelihatan laki-laki tua renta dengan janggutnya putih terurai hampir sampai ke tanah.
Dengan wajah mengejek orang tua itu mengatakan bahwa dirinya bernama Lembu Sumingkir, seorang keturunan terakhir dari kerajaan Pajang. Dan orang tua itu juga mengaku dialah yang mengambil kotak wasiat. Setelah mengatakan pengakuannya, orang tua misterius ini hilang musnah tak berbekas seakan ditelan bumi.Ki Trunaseloka yakin sekali bahwa orang tua tersebut adalah orang yang sakti dan amat tinggi ilmunya hingga dirasa sulit mencari bandingannya.
Kyai Jambe Pitu.
Kyai Jambe Pitu, dan 4 pendekar pembantunya kedatang tamu berjumlah tiga orang. Setelah disambut dan  mendengar apa maksud kedatangan orang asing itu yakni meminta kembang Wijayakusuma. Setelah berbasa basi sebentar dan kelima pendekar padepokan  mengadakan perundingan.  Kelima pendekar itu memutuskan untuk tidak menyerahkan bunga gaib Kembang Wijayakusuma kepada siapa pun. Menurut mereka, waktu itu belumlah saatnya kembang gaib itu diperebutkan.
Kepada tiga pendatang itu Kyai Jambe Pitu menyatakan agar mereka kembali saja ke tempat asal mereka masing-masing dan supaya menunggu datangnya Wahyu Kembang Wijayakusuma. Sekarang belumlah waktunya, Mereka baru diharapkan kembali ke padepokan Bukit Selok sewindu lagi. Mendengar jawaban seperti itu, oleh ketiga utusan dianggapnya sebagai penolakan secara halus. Maka mereka merasa tidak mendapat tanggapan yang baik dan marahlah mereka.
Percecokan tidak bisa terhindarkan lagi yang disusul dengan perkelahian seru antara ketiga utusan timur melawan pendekar-pendekar dari Bukit Selok. Mereka mengadu kesaktiannya. Pertarungan berlangsung berhari-hari lamanya dan  berakhir dengan kemenangan pihak pendatang.
Kyai Jambe Pitu, Jambe Lima, Kampret Ireng, Sambung Langu dan Wesi Putih berguguran satu demi satu. Anehnya kelima pendekar ini kemudian musnah tak meninggalkan bekas, apalagi mayatnya tak kelihatan sama sekali. Sebagai kenangan abadi, oleh penduduk sekitar Bukit Selok ditanamlah tujuh batang pohon Pinang (Jambe).  Sedang bekas tempat pemujaan Kyai Jambe Pitu ditanam Pohon Ketapang yang hingga sekarang masih hidup subur.
Selanjutnya setelah ketiga pendekar itu berhasil mengalahkan pendekar bukti Selok, diantara mereka sendiri timbul perselisihan karena masing-masing ingin menguasai bunga gaib yang belum ditangan itu. Satu persatu utusan itu terkapar tewas dalam perkelahian yang amat seru. Bunga gaib Kembang Wijaya Kusuma tetap berada di tempatnya yakni di Pulau Majethi arah selatan pulau Nusakambangan bagian timur hingga sekarang. (SH/Berbagai Sumber).